4 November 2016
oleh : Purna Trijaya Anggara Putra
4 November 2016. Sungguh awalnya saya dan sebagian orang di Indonesia berpikir itu hanyalah sebuah tanggal biasa, dimana di tanggal tersebut orang dewasa sibuk bekerja, mahasiswa sibuk kuliah, dan anak-anak sibuk sekolah. Namun pada tanggal tersebut nyatanya masyarakat Indonesia sedang menghadapi sebuah tantangan untuk menaikkan derajat keberbangsaan ke tingkat yang baru. Masyarakat Indonesia juga sedang diuji kesabarannya, diuji untuk lebih jeli dalam menerima informasi.
Sebenarnya saya tak pandai berbicara dan tak pandai menanggapi, tapi semoga ini bisa menjadi refleksi kita bersama tentang apa yang terjadi pada tanggal 4 November 2016.
Wahai saudara/i ku tak bolehkan mereka yang turun aksi kemarin menyuarakan apa yang digundahkan dalam hati mereka? Tak bolehkah mereka melakukan aksi yang bahkan diizinkan oleh konstitusi negara? Bukankah negara kita adalah negera demokrasi? Bukankah aksi tersebut juga bagian dari upaya berdemokrasi?
Saya sedih ketika ada sebagian dari mereka yang tidak pro aksi memaksakan kehendaknya kepada orang yang pro aksi. Sayapun bertambah sedih melihat mereka yang pro aksi juga ikut memaksakan kehendaknya kepada orang yang tak ikut aksi.
Kita semua tahu dan menyaksikan aksi 4 Novembar 2016 dari SIANG sampai ISYA berlangsung damai. Sungguh mereka yang melakukan aksi pun ingin tetap damai dan bertemu dengan sang Nomor Satu di negeri ini untuk menyampaikan apa yang mengganjal di hati mereka. Dan di sini, saya kecewa ketika mengetahui ada oknum yang memanas-manasi selama proses jalannya aksi, tetapi saya lebih sedih lagi karena melihat polisi yang tak bisa menahan diri dan akhirnya menembakkan gas air mata. Tak bisakah hanya ditahan dengan tameng saja? Bukankah tameng itu cukup kuat untuk menahan peluru? Yah mungkin "protol" atau apa, tapi peserta aksi bukanlah orang yang muda secara usia dan masih kuat fisiknya, kita semua tahu di sana ada orang yang sudah renta dan tentunya tak cukup baik dan sanggup menerima tembakan gas air mata.
Mungkin sebagian orang berkata, andai presiden begini dan andai presiden begitu pasti aksi tidak akan pecah. Namun saya tak mau berandai-andai. Bolehkah saya hanya ingin kecewa saja? Ketika para ulama dan sebagian umat islam datang dan ingin bertamu tak bisakah bapak yang langsung datang dan menjumpai mereka? Tidak bisakah bapak menyuruh orang lain untuk mewakili datang ke proyek? Bukankah bapak orang nomor satu di negeri ini? Tak percayakah bapak kepada bawahan bapak sehingga harus Bapak sendiri yang turun ke lapangan? Bukankah Bapak tahu dari jauh-jauh hari bahwa aksi akan dilakukan 4 November 2016? Yah, disini saya hanya bisa bertanya dan kecewa Pak.
Ya Rabb.. kuatkanlah hamba dan berjuta-juta umat beragama di Indonesia agar bisa melewati satu dari miliyaran tantangan yang telah Kau tuliskan sehingga dapat menaikkan derajat Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi... Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar